“Jadi gimana Mita? Kamu mau menerimanya? Ini sudah ikhwan kelima yang meminangmu”
Aku menggeleng. Kepalaku tertunduk mendengar perkataan kak Sinta, seseorang yang sudah ku anggap sebagai kakak sendiri di tanah rantau ini. Jemariku memilin-milin jilbab merah muda yang ku kenakan.
“Kamu menunggu apa lagi? Usiamu sudah mencukupi, pekerjaanmu sudah mapan, apa lagi Mita? Apa yang kamu tunggu?”
Kak Sinta menghela nafas panjang, kekecewaan tersurat jelas dari nada bicaranya.
“Kakak tahu Andri ini bukanlah tipemu, ia seorang pekerja lapangan, bukan orang yang suka membaca buku tetapi tolong Mita pertimbangkan kembali Mita, istikharah lah dulu,”
“Aku sudah istikharah Kak,” tukasku
“Coba sekali lagi,” Suara Kak Sinta melunak
Aku hanya mengangguk. Kepalaku masih tertunduk. Sudah beberapa kali sholat istikharah ku dirikan tetapi tetap saja hati belum menemukan kemantapan. Bagaimana mungkin kau merasa mantap Mita kalau di hatimu hanya ada satu nama saja, sebuah suara berbisik… Cepat-cepat aku menggeleng dan memohon pamit kepada kak Sinta, lupa tujuan kedatanganku ke rumahnya menemui si kecil Zahwa yang masih belum pulang dari mengaji.
*
Aku menatap langit-langit kamar berukuran 3×3 meter ini dengan tatapan kosong. Ini tahun ketigaku di kota yang katanya lebih kejam dari ibu tiri dan aku masih sendiri. Perkataan kak Sinta kemarin menohokku.
Benar kata Kak Sinta, sudah empat kali aku menolak lamaran laki-laki, menjadi lima jika nanti aku resmi menolak Andri. Sebut saja Dika, teman kuliah kak Sinta yang ku tolak lantaran aku merasa masih belum mapan dan harus membantu membiayai adik-adikku. Sekarang penghasilanku sebagai guru SMP Islam ternama dan juga berbisnis produk herbal sudah lebih dari cukup untuk biaya hidup dan membantu orang tua. Namun tetap saja tiga laki-laki berikutnya tak mampu menggoyahkan hatiku untuk mengatakan ya.
*
“Apa yang kau cari Mita?”
Suara Kak Sinta seperti bergema di dinding kamar, lalu menghujamiku dengan pertanyaan yang sama berulang-ulang. Aku bahkan bisa menirukan persis nada bicara perempuan yang usianya terpaut lima tahun di atasku itu. Nada kekecewaan, nada kekhawatiran, ah aku tahu usiaku sudah menginjak seperempat abad tahun ini.
Kak Sinta tahu persis siapa-siapa laki-laki yang melamarku, ia bahkan tak sungkan-sungkan mencari kelebihan-kelebihan mereka agar hatiku semakin mantap. Nampaknya ia cemas padaku yang tak kunjung menjatuhkan pilihan.
“Menyegerakan pernikahan itu salah satu hal yang harus disegerakan dalam Islam, Mit,”
“Mita, kamu tahu kan kalau ada laki-laki baik-baik meminang dan tidak diterima pinangannya dikhawatirkan akan menimbulkan fitnah?”
Atau yang akhir-akhir ini dikatakannya berulang-ulang,
“Dulu Dika nggak mau alasannya kamu belum mapan, Amir alasannya sholatnya jarang tepat waktu, Hasan alasannya pernah berpacaran bertahun-tahun dan kamu nggak mau, Toni alasannya pekerjaannya terlalu jauh dan sekarang Andri… Kakak nggak menemukan alasan kamu menolaknya,”
Ah, apakah ketiadaan alasan untuk menolak mengharuskan seorang perempuan untuk menerima pinangan seorang laki-laki, aku bergumam. Aku memang tak punya alasan kuat untuk menolaknya tetapi aku tak menemukan alasan untuk menerimanya. Kami terlalu berbeda, begitu aku menyimpulkannya setelah mendengar penuturan orang-orang yang dekat dengannya.
Ia tak suka istrinya banyak di luar, aku punya banyak kegiatan, ia amat pendiam dan aku banyak bicara, ia berasal dari keluarga amat kaya dan aku berasal dari keluarga sederhana, dan sebagainya. Benakku sudah mencatat panjang perbedaan di antara kami.
Apakah lantaran ketidaksamaan itu kemudian aku harus menolaknya, apakah semua penolakanku kepada semua laki-laki yang bermaksud serius denganku benar-benar berdasarkan alasan yang sesungguhnya, pertanyaan demi pertanyaan menghujaniku.
*
Tidak Mita, sebenarnya kamu hanya menunggu satu laki-laki… Suara itu datang lagi. Aku tercekat, itukah jawabanku yang sebenarnya sehingga berkali-kali melakukan sholat istikharah pun aku tak kunjung mendapatkan emantapan. Hatiku sudah terkunci pada satu nama, suka atau tak suka.
Aku menunggunya. Sebersit keyakinan tersimpan rapi di ujung hati.
*
Laki-laki itu bernama Fahmi. Usianya sebaya denganku. Hampir semua orang di kampus mengenalnya. Ia aktif di berbagai organisasi kemahasiswaan dan juga akfif di kegiatan sosial. Tulisan-tulisannya kerap dimuat media massa. Beberapa kali aku terlibat satu kepanitiaan dengannya. Bagiku itu sudah cukup untuk mengenal kepribadiannya dan melalui tulisannya aku bisa membaca pandangannya.
Sudah cukup untuk membuatku menyebut namanya dalam setiap doa, sudah cukup untuk membuatku menahan perasaan sekian lama…
“Mita…” Pintu diketuk, suara kak Sinta membuyarkan anganku.
Astaghfirullah, cepat-cepat aku beristighfar, tak baik memikirkan laki-laki bukan mahram. Untung suara ketukan itu menyadarkanku.
“Kakak boleh masuk? Tadi kakak dibukakan pintu oleh bu Imah”
Cepat-cepat aku beranjak dan membukakan pintu. Senyum manis kak Sinta menyambutku, seperti biasa.
“Masuk Kak,”
Kak Sinta mengambil posisi duduk di atas kursi belajar. Ia langsung menceritakan maksud kedatangannya. Tentang Andri tentu saja. Aku hanya menggeleng.
“Kakak sudah menduga jawabanmu demikian. Boleh kakak tahu alasannya?”
Aku menggeleng. Aku memang tak punya alasan.
“Mita, maafkan kakak lancing mengatakan ini tetapi melihat gelagatmu yang aneh kemarin saat bertemu dengan Fahmi, kakak tiba-tiba ingat kalau kamu pernah bercerita ingin memiliki suami yang punya banyak kesamaan, apakah kamu menyimpan perasaan khusus kepada Fahmi?” Kak Sinta terdengar menyelidik.
Aku terdiam. Perasaan ini sudah tersimpan rapi amat lama, hanya aku dan Allah yang tahu. Aku ingin seperti Fatimah kepada Ali.
“Mita.. Jujurlah kepada kakakmu ini,”
Tangan kak Sinta mengangkat daguku lembut. Mata bulatnya beradu pandang denganku. Ia menatapku tajam.
“Ya kak,” hanya itu jawaban yang mampu ku lontarkan.
“Aha,” Kak Sinta berseru girang,
“Wah kalau Fahmi sih mudah saja kakak menyampaikannya. Dia kan sahabatnya Mas Wawan. Tinggal bilang Mas Wawan saja kalau kamu ingin berproses dengannya, bagaimana?” Mata kak Sinta berkedip-kedip menggodaku.
Aku menggeleng cepat.
“Nggak ah Kak, masak perempuan yang meminta duluan. Lagipula aku tak sanggup Kak kalau nanti dia mengatakan tidak,” tukasku
“Mita, pandang mata kakak,” Nada suara kak Sinta tegas.
“Lihat ke sini, dengarkan kata-kataku baik-baik. Sampai kapan kamu mau begini Mita? Maafkan kakak yang terlambat peka dengan perasaanmu terhadap Fahmi tapi kakak yakin kamu sudah menyimpan perasaanmu sekian lama, sudah berapa tahun Mita?”
“Dua kak,”
“Nah sudah dua tahun dan selama itu kamu menolak pinangan beberapa laki-laki baik-baik. Tak sadarkah kamu semakin kamu menyimpan perasaan semakin besar kemungkinanmu berzina hati, kalau memang kamu yakin Fahmi bisa menjadi imam yang baik untukmu, mengapa tidak kamu mengutarakan padanya Mita melalui perantara tentu saja, toh agama kita tidak melarangnya,”
Otakku sibuk mencerna kata-kata kak Mita. Memikirkan kemungkinan melakukan hal yang tak pernah ku pikirkan selama ini.
*
“Assalamu’alaykum,” Suara yang ku kenal menyapa, suara mas Wawan, suami kak Sinta, pasti di belakangnya ada kak Sinta dan Zahwa.
“Wa’alaykumussalam,” buru-buru aku meletakkan sayuran yang ku hendak ku masak, membukakan pintu.
“Wah tumben kakak-kakakku berkunjung ke mari bersamaan. Silahkan masuk. Silahkan duduk. Zahwa mana Kak?” Aku tak menemukan Zahwa bersama mereka.
“Kebetulan tadi Zahwa diajak pergi sama Budhenya. Ohya, Mita ngomong-ngomong lagi sibuk nggak?” Kak Sinta membuka pembicaraan.
“Enggak Kak, cuma mau masak tadi. Ada apa ya Kak?”
“Begini Mita…” kali ini mas Wawan mengambil alih pembicaraan. Mengalirlah ceritanya, tentang kak Sinta yang telah menceritakan kecenderunganku terhadap Fahmi, tentang keinginanku agar mas Wawan menolongku agar dapat berproses dengan Fahmi. Hingga…
“Maaf Mita, mas nggak bisa menolongmu… Fahmi saat ini sedang berproses dengan akhwat lain dan sepertinya akan berlanjut,”
Suara mas Wawan seperti petir di siang bolong. Sia-sia sudah doa panjangku kepadanya, sia-sia sudah penantianku sekian lama, sia-sia sudah aku menolak lima laki-laki hanya untuk menunggunya.
Aku menjaga agar air mataku tak tumpah tapi sia-sia, ia bagai air bah yang tak mau berhenti meluap.
Kak Sinta memelukku erat. Membiarkanku menangis dalam pelukannya.
*
Tiga bulan sudah berlalu semenjak kejadian itu. Aku sudah berusaha menghapus nama laki-laki itu dalam hati. Aku menghindari pertemuan dengannya dan semakin menyibukkan hari-hariku. Memperluas pergaulanku. Memperpanjang bacaan sholatku, memperlama tilawah setiap harinya.
Telepon genggamku membunyikan lagu Maher Zain, segera ku angkat telepon masuk.
“Assalamu’alaykum,” suara laki-laki yang amat ku kenal menyapa,
“Ayah!” Pekikku senang, jarang-jarang Ayah meneleponku.
“Eh saking girangnya anak Ayah nggak menjawab salam. Ayah ada di depan kosmu, Nak,”
Seruanku semakin keras. Cepat-cepat aku kenakan jilbab dan membukakan pintu pagar.
“Assalamu’alaykum putri Ayah,” Ayah tersenyum lebar sambil memelukku, sudah tiga bulan aku tak pulang ke kampung halaman.
“Ayah makin ganteng aja,” Aku merajuk manja, menggandeng tangannya masuk.
“Eit eit, tunggu dulu. Lihat dulu dong yang ada di belakang Ayah. Disuruh masuk sekalian tuh,”
Aku menoleh ke belakang. Perhatianku hanya terfokus untuk Ayah.
“Fahmi,” seruku terpekik. Fahmi tersenyum sekilas menatapku sebelum menundukkan pandangannya.
*
Bagitu cepat rasanya kisah ini. Tiga bulan yang lalu aku mengaku kepada kak Sinta akan perasaanku, meminta mas Wawan membantuku dan kemudian hatiku hancur berkeping-keping mendengar berita tentang Fahmi. Kini laki-laki itu datang ke hadapanku, bersama laki-laki paling istimewa dalam hidupku dengan begitu tiba-tiba.
“Jadi begini Nak, dua hari yang lalu Fahmi datang ke rumah dan meminta izin untuk melamarmu. Ayah menyuruhnya untuk menunggumu pulang tetapi ia tak mau, ia ingin segera katanya, maka ia membawa Ayah ke tempat ini untuk meminta jawabanmu secara langsung,”
“Me-la-mar?” Aku menekankan kata itu kalau-kalau aku salah dengar.
“Iya aku ingin melamarmu Mita. Aku ingin menjadikanmu sebagai istriku. Bukan begitu pak Wahyudi?”
Ayah mengangguk.
“Jadi bagaimana jawabanmu Mita?”
“Bagaimana prosesmu dengan akhwat itu, bukankah berlanjut?”
Fahmi tampak kaget dengan pertanyaanku sebelum dengan cepat menguasai diri. “Aku tak menemukan kemantapan dengannya lalu aku memutuskan untuk tak berlanjut, aku shalat istikharah berkali-kali dan yang muncul hanya namamu, berkali-kali”
Aku terdiam, mencerna kata-katanya.
“Jadi bagaimana Mita?” kali ini suara Ayah terdengar.
Aku menundukkan kepala.
Menyembunyikan semburat yang merona di kedua pipiku. Rasa hangat menjalari sekujur tubuhku. Diamnya seorang wanita adalah tanda kesediaannya bukan?
*
Akad nikah dilangsungkan di masjid dekat rumahku sebulan sesudah kedatangan Ayah dan Fahmi. Musik nasyid dan alunan rebana mengiringi Walimatul ‘Ursy yang kami selenggarakan secara sederhana di halaman rumahku yang luas.
“Aku tahu kamu yang jatuh cinta duluan sama aku,” Fahmi berbisik di depan telingaku saat tamu sudah mulai sepi.
“Ah, bukankah kamu yang melamarku,” tepisku, pura-pura tak ingat akan niatanku dulu
“Iya kamu bermaksud melamarku tapi nggak jadi kan, ngaku aja, berarti kamu yang jatuh cinta duluan sama aku,”
Fahmi semakin menggodaku.
Aku memasang tampang cemberut.
“Aih gitu aja cemberut istriku,”
katanya sambil menjentikkan jarinya di hidungku. “Sayang, tahu nggak kenapa lama banget aku baru punya istri padahal yang naksir aku banyak?” perkataannya membuatku ingin mencubitnya.
“Aku tahu kamu pasti istimewa sehingga aku harus menunggumu sekian lama,”
Ia berbisik dan perlahan-lahan mengecup pipiku yang memerah.
**
“… dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yan baik dan laki-laki yang baik adalah untuk
wanita-wanita yang baik (pula)..” (terjemahan Q.S. An-Nuur-26)
10 Comments. Leave new
Subhanallah…cerita yang apik, Mon..t-t jadi tersentuh bacanyaa…hiks-hiks…Semoga kita mendapatkan pilihan yang terbaik, yaa..
#dari tadi An juga menunggu postinganmu, Mon..hoho
ajeb..Neng.. btw, sebenernya muslimah boleh dan tidak hina jika menentukan pilihan dan melamar seorang lelaki untuk menjadi imamnya.
Bisa kita ambil teladan dari ibunda akidah kita, Siti Khadijah r.a., berikut ini kira2 kalimat lamaran beliau pada Muhammad Saw ketika itu:
"Wahai anak pamanku, aku berhasrat menikah denganmu atas dasar kekerabatan, kedudukanmu yang mulia, akhlakmu yang baik, integritas moralmu, dan kejujuran perkataanmu."
Dahsyat ya.. The Most Real Fun Fearless Female! 😀
nice mon …
hihi,
jadi teringat puisi ini,
Bila belum siap melangkah lebih lanjut dengan seseorang, cukup cintai dia dalam diam.
Karena diammu adalah bukti cintamu padanya
Kau ingin memuliakan dia dengan tidak mengajaknya menjalin hubungan yang terlarang,
kau tak mau merusak kesucian dan penjagaan hatinya.
karena diam mu memuliakan kesucian diri dan hatimu
menghindarkan dirimu hal-hal yang akan merusak izzah dan iffahmu
karena diam mu bukti kesetiaanmu padanya
karena mungkin saja orang yang kau cintai adalah orang yang telah Allah pilihkan untukmu
Ingatkah kalian tentang kisah Fatimah dan Ali?
Yang keduanya saling memendam apa yang mereka rasakan
tapi pada akhirnya mereka dipertemukan dalam ikatan yang suci dan indah
Jika dia memang bukan milikmu ,
toh Allah melalui waktu akan menghapus cinta dalam diam mu
dan memberi rasa yang lebih indah dan orang yang tepat
biarkan cinta dalam diam mu itu menjadi memori tersendiri
dan sudut hatimu menjadi rahasia antara kau dan pemilik hatimu.
tapi… netralkan hati mungkin akan baik juga…
smangat momon…
Subhanallah… terharu abis baca cerita ini hiks hiks :")
Aku tahu kamu pasti istimewa sehingga aku harus menunggumu sekian lama <<< kalimatnya so sweet.. Wish somebody will say it to me :p
harapan/cita-cita bisa diwujudkan dengan berusaha
tanpa usaha dia hanya menjadi khayalan
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
kejam nih TS-nya malah dihapus… (T_T)
mon, itu mita apa monika? hihi
^.^V
jodoh itu rizqy, rizqy itu harus dicari..