Kasus Sirwati bukanlah yang pertama kali. Tahun lalu, perempuan berusia 23 tahun asal Buton bernama Mulfia juga kedapatan menyayat anak keduanya yang baru berusia empat bulan selain melukai anak sulungnya yang berusia sekitar satu tahun. Pada akhirnya, Mulfia dibebaskan dari segala tuntutan lantaran diyakini mengalami gangguan kejiwaan.
Keduanya sama-sama mengalami depresi.
**
Depresi pasca melahirkan bukan sekadar isapan jempol. Badan Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO) mencatat bahwa sekitar 10-50% ibu di negara berkembang mengalami depresi pada masa perinatal (saat hamil hingga satu tahun setelah melahirkan). Diperkirakan 5-25% ibu di Indonesia mengalami Post Partum Depression.
Memang apa sebenarnya yang dimaksud dengan depresi pasca melahirkan?
Gejala dan Jenis Depresi Pasca Melahirkan
Singkatnya depresi pasca persalinan merupakan gangguan mental dan perilaku yang terjadi pasca ibu melahirkan. Masa kehamilan hingga sesudah melahirkan merupakan masa rawan bagi perempuan karena adanya perubahan hormon yang dapat menghasilkan perubahan kimiawi pada otak yang berakibat pada depresi. Selain itu, berbagai perubahan seperti perubahan jam tidur atau kondisi fisik dapat menyebabkan depresi.
Gejala depresi pasca melahirkan antara lain merasa cemas/khawatir, mudah tersinggung, marah, menangis, sedih, sulit tidur, perubahan nafsu makan, dan sebagainya.
Ada tiga jenis depresi pasca melahirkan.
Pertama, baby blues syndrome
Baby blues syndrome merupakan sebuah kondisi depresi ringan yang terjadi pada ibu dalam masa beberapa jam setelah melahirkan, hingga beberapa hari setelah melahirkan. Kemudian kondisi tersebut akan hilang dengan sendirinya jika ibu memperoleh pelayanan psikologis yang baik.
Baby blues bisa dialami hingga 80% perempuan yang baru melahirkan. Gejalanya dapat berupa rasa sedih, cemas, dan marah. Gejala baby blues dengan jenis depresi pasca melahirkan lainnya mirip, hanya saja baby blues tergolong depresi yang lebih ringan yang dialami dalam kurun waktu dua minggu pasca melahirkan, ketika sang perempuan sudah mulai bisa menyesuaikan diri dengan peran barunya.
Kedua, post partum major depression
Gejala post partum major depression mirip dengan baby blues tetapi tingkat depresi yang dialami sang ibu lebih parah. Jika gejala baby blues bisa hilang dalam waktu minimal dua minggu setelah melahirkan, penyembuhan post partum major depression membutuhkan waktu yang relatif lebih lama.
Ketiga, post partum psychosis depression
Post Partum Psychosis Depression merupakan jenis depresi pasca melahirkan yang paling parah. Di fase ini, si ibu memiliki halusinasi misalnya ibu seakan memperoleh bisikan untuk mencelakai dirinya atau bayinya.
Si ibu mengalami gangguan pikiran yang menyebabkannya merasa bingung, cemas, atau bahkan tidak tertarik terhadap anak yang baru dilahirkannya. Ibu juga mengalami perubahan mood ekstrem.
Pengalaman Mengalami Baby Blues
Tak dipungkiri, hamil dan melahirkan adalah sebuah pengalaman yang sangat menantang. Meski saya sudah berupaya mempersiapkan diri sebaik mungkin, tetap saja baby blues sempat menghampiri.
Pada masa awal kehamilan, saya dan suami mengikuti kelas gentle birth agar memiliki pengetahuan melahirkan yang cukup. Maklum, ini adalah pengalaman pertama kami menjadi orang tua. Kami sangat antusias.
Namun, hingga minggu ke-40, sang bayi yang ditunggu-tunggu belum datang juga. Saya mulai cemas. Tiga hari sebelum usia kehamilan mencapai minggu ke-41, kami kontrol ke dokter. Dokter melakukan pengecekan dalam dan menemukan bahwa air ketuban sudah merembes.
Saya pun tak diperbolehkan pulang ke rumah dan harus langsung induksi. Mendengar kata induksi membuat saya deg-degan. Teringat cerita seorang teman,
Diinduksi itu sakit banget Mon, mending langsung operasi aja
Barangkali ada yang belum tahu, induksi merupakan proses merangsang kontraksi otot-otot rahim agar ibu bisa melahirkan melalui persalinan normal. Obat-obatan dimasukkan melalui infus agar terjadi kontraksi.
Sakitnya? Jangan ditanya. Teman yang lain pernah berkata kalau sakitnya induksi itu melebihi sakitnya kontraksi yang terjadi secara alami.
Setelah berjuang melalui induksi selama 52 jam dan masih mentok di pembukaan dua, akhirnya saya menyerah. Operasi SC pun dilakukan. Tangisan bayi mungil yang kami nantikan kehadirannya memecah kesunyian pada Senin pagi…
Perasaan saya campur aduk. Di satu sisi, saya merasa sangat bahagia. Di sisi lain saya merasakan kecemasan yang luar biasa. Ada sosok mungil yang bergantung sepenuhnya pada saya, ibunya.
Di saat seorang bayi lahir, di saat itu pula seorang ibu terlahir…
Beberapa jam setelah anak pertama kami lahir, dokter anak pun memeriksa kondisinya. Betapa sedih hati saya ketika dokter mengatakan,
Bu, bayinya kuning. Saya periksa darahnya dulu ya,
Belum genap satu hari usianya, jarum sudah menusuk kulitnya. Lalu ia dipisahkan dengan kami lantaran harus disinar semalaman agar tak kuning lagi. Tangisannya ketika disinar memilukan, rasa-rasanya saya tak sanggup melihatnya malam itu.
Saya menangis dan terus menangis.
Perih luka operasi belum sembuh, rasa cemas serasa hendak membunuh….
Saya sempat merasa kesal melihat bayi sendiri. Apalagi ketika ia menangis tak henti-henti di malam hari. Fisik saya lelah, malam-malam panjang bergadang, belum pula sepenuhnya pulih dari operasi. Apalagi dua minggu pasca operasi, suami harus sudah kembali ke Jakarta sementara saya berada di rumah orang tua di Semarang. Baru di akhir pekan, suami kembali ke Semarang.
Lelah fisik, lelah mental. Tuhan, saya butuh pertolongan.
Dampak Depresi pada Ibu
Untungnya, baby blues yang saya rasakan berangsur-angsur menghilang. Pelan-pelan, saya menyesuaikan dengan ritme keseharian yang baru. Dukungan suami yang luar biasa memberikan kekuatan yang luar biasa. Apalagi, ketika Covid mulai merebak, suami bisa bekerja dari rumah, tak perlu berada di Jakarta sehingga kami bisa bersama-sama mengurus buah hati.
Saya tak bisa membayangkan bagaimana jika baby blues yang saya rasakan tak segera teratasi.
Bagaimana jika rasa cemas saya semakin menjadi-jadi? Bagaimana jika rasa kesal saya kepada bayi yang terus menerus menangis semakin berlanjut? Bagaimana jika saya terus menerus merutuki diri?
Baby blues yang berkelanjutan menjadi depresi dalam level yang lebih parah dapat berdampak pada ibu dan bayi. Dampak yang paling mudah dilihat adalah produksi ASI. Kelancaran produksi ASI dipengaruhi oleh berbagai hormon seperti hormone prolactin dan oksitosin. Prolaktin terbentuk secara alami dari waktu menjelang persalinan hingga sesudahnya. Semakin sering ibu menyusui, semakin banyak hormone prolactin dihasilkan sehingga produksi ASI terus berjalan. Begitu pula dengan hormon oksitosin yang bekerja ketika bayi mengisap payudara sang ibu atau ketika ibu mencium bayinya.
Baik hormon prolatin maupun oksitosin amat dipengaruhi oleh kondisi psikologis, suasana hati, dan pikiran ibu. Maka, tak heran apabila masalah psikologis dapat menghambat produksi ASI yang sangat dibutuhkan oleh bayi!
Depresi juga dapat menyebabkan berkurangnya ikatan batin antara ibu dengan anak. Ibu bisa tidak suka kepada anak, bahkan hingga membencinya karena merasa memiliki anak malah membuatnya menderita. Dalam tingkat yang ekstrem, kasus seperti Sirwati atau Mulfia mungkin terjadi. Anak menjadi pelampiasan sang ibu lantaran ia menderita depresi.
Jangan sampai!
Ibu Bahagia, Anak Bahagia
Bayangkan seorang ibu dipenuhi semua kebutuhannya, kebutuhan fisik maupun mental. Secara fisik, ia dicukupi dengan makanan bergizi dan benda-benda yang membuatnya bahagia. Ketika lelah, ada yang mengulurkan bantuan untuk sekadar menggendong anaknya atau memijit badannya. Perempuan itu dibahagiakan. Ia dipuji cantik oleh sang suami meski bekas melahirkan membuatnya tak percaya diri.
Apa yang akan terjadi?
Perempuan itu tak hanya sekadar menjadi ibu lantaran melahirkan, tetapi ia juga akan menjadi ibu yang bahagia. Ibu yang bahagia akan menghasilkan anak yang bahagia karena faktor psikologis ibu berpengaruh pada tumbuh kembang anak. Misalnya, terkait produksi ASI yang sudah dijelaskan di atas.
Salah seorang dokter spesialis anak, dr. Meita Dhamayanti, SpA(K), M.Kes menyampaikan pentingnya ibu merasa bahagia.
.
Kalau ibunya bahagia sejak dari kandungan maka anaknya akan tumbuh jadi anak yang bahagia dan ideal. Kemudian saat lahir, kebahagiaan ibu akan mencerminkan tumbuh kembang anak,
Ibu yang bahagia akan menjalankan perannya dengan penuh suka cita.
Nah, untuk menjadi ibu yang bahagia, kita perlu mengetahui apa saja tips mencegah depresi pasca melahirkan!
Tips Mencegah Depresi Pasca Melahirkan
Depresi pasca melahirkan sangat mungkin untuk dicegah. Berdasarkan pengalaman saya, setidaknya ada tujuh cara yang dapat dilakukan agar depresi tidak sampai terjadi.
Pertama, persiapan finansial yang matang
Kehamilan dan persalinan membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Mulai dari memeriksakan kandungan, konsumsi makanan bergizi tinggi, obat-obatan jika dibutuhkan, hingga misal biaya persalinan apabila tidak ditanggung asuransi.
Sebagai contoh, saya memilih melahirkan di RS yang semua dokter kandungannya perempuan karena saya merasa lebih nyaman demikian. Meski RS tersebut tidak menerima BPJS. Saya sudah berjaga-jaga dari awal kehamilan apabila membutuhkan operasi.
Kedua, dukungan suami
Depresi sangat bisa dihindari apabila mendapatkan dukungan penuh suami. Istri merasa ia tidak sendiri, ia merasa suaminya peduli.
Ketika saya mengalami kontraksi, suami sama sekali tak pernah pergi. Ia terus menyemangati dan memeluk saya. Ia juga rela bergantian begadang di malam hari agar saya bisa beristirahat.
Selain itu, suami yang jago memasak seringkali membuatkan masakan yang enak.
Ketiga, makan makanan bergizi dan olahraga
Ya, makanan dan olahraga sangat penting. Makanan bergizi akan mempercepat pemulihan pasca operasi. Olahraga ringan akan membuat fisik menjadi bugar. Selain itu, olahraga dapat menghasilkan hormone kebahagiaan juga. Kondisi fisik yang prima akan mempengaruhi kondisi mental ibu juga, bukan?
Keempat, cukup istirahat
Salah satu tantangan menjadi orang tua baru adalah jam tidur yang berantakan. Pada tiga bulan pertamanya, bayi tidur panjang di siang hari dan sering terjaga di malam hari. Cukup istirahat adalah kunci penting bagi ibu untuk menngurangi risiko kelelahan yang dapat memicu depresi.
Kelima, meminta dukungan dari support system
Ingatlah, ketika kita menjadi ibu, kita tidak harus melakukan apa saja sendiri. Mintalah dukungan atau pertolongan dari orang-orang yang bisa membantu, seperti suami atau anggota keluarga lain. Tak perlu memaksakan memasak jika bisa membeli makanan atau tak perlu memaksa mencuci apabila bisa laundry.
Keenam, jangan memendam perasaan
Emosi terpendam bisa menjadi bom waktu yang berbahaya. Tak ada salahnya mengeluarkan uneg-uneg tentang apa yang ibu rasakan kepada orang-orang yang bisa ia percaya. Bisa kepada suami, orang tua, saudara, sahabat atau bahkan psikolog jika membutuhkan bantuan professional.
Ketujuh, bekali dengan pengetahuan yang cukup
Knowledge is power. Pengetahuan yang cukup tentang kehamilan dan persalinan akan membuat para ibu semakin berdaya dan tidak mudah panik. Misalnya, saya tahu kalau ketuban bisa refill hingga usia kehamilan 40 minggu membuat saya tidak panik ketika bayi belum lahir juga.
Salah satu cara memperoleh pengetahuan yang handal tentang kehamilan dan persalinan adalah dengan membaca artikel pada penyedia informasi terpercaya seperti Ibupedia.
Misalnya, pada artikel berjudul Depresi Pasca Melahirkan, Ibupedia membahas secara komprehensif mengenai gejala depresi pasca persalinan, penyebab depresi, hingga hal-hal yang dapat dilakukan ibu untuk mengatasi depresi.
Ibupedia, Dari Ibu untuk Ibu
Ibupedia merupakan situs penyedia informasi umum yang ditujukan sebagai sumber pengetahuan. Terdapat ribuan artikel dan infografis tentang kesehatan anak, bayi, kehamilan, keluarga dan parenting yang disajikan secara menarik.
Diluncurkan pada tahun 2013, Ibupedia ingin membantu para orang tua di Indonesia, khususnya para ibu, karena Ibupedia menyadari bahwa perjalanan menjadi seorang ibu tidaklah mudah.
Nah, ketika kita membuka situs Ibupedia, kita berasa memiliki teman yang sungguh mendampingi. Bagaimana tidak? Ibupedia menyediakan panduan kehamilan dari minggu ke minggu, panduan persalinan, hingga panduan untuk bayi dan juga balita.
Selain itu juga terdapat banyak sekali artikel tentang Kesehatan, keluarga, hingga nama bayi. Paket lengkap deh!
Penyampaian artikel Ibupedia dikemas secara sederhana dan menarik sehingga mudah dicerna oleh semua kalangan. Artikel ditulis secara runtut dan komprehensif, selain itu juga dilengkapi dengan infografis yang menarik.
Selain di situs Ibupedia, Ibupedia juga memiliki akun Instagram yang aktif mengedukasi para pengikutnya melalui postingan terkini, lengkap, dan menarik. Tak heran jika Instagram @ibupedia_id diikuti oleh lebih dari satu juta pengikut. Apakah kamu salah satunya?
Yuk, menjadi ibu yang bahagia bersama Ibupedia. Seperti tagline Ibupedia, “Dari Ibu untuk Ibu”, Ibupedia sangat memahami kebutuhan para ibu lantaran ditulis oleh para ibu.
Jadi, sudahkah menjadi ibu yang bahagia?
***
Tulisan ini diikutsertakan dalam Lomba Blog Ibupedia, kategori kehamilan dan persalinan
***
- Depresi Pasca Melahirkan – Ibupedia
-
Ibu Hamil dan Melahirkan Rentan Depresi (magdalene.co)
-
https://lifestyle.kompas.com/read/2018/02/23/070000120/ibu-bahagia-membesarkan-anak-yang-bahagia-
-
Seperempat ibu depresi setelah melahirkan, tapi penanganannya belum optimal. Mengapa? (theconversation.com)
-
Mengenal 3 Jenis Depresi Pasca-Melahirkan (halodoc.com)
9 Comments. Leave new
Hemm, ngeri banget baca berita seperti itu saya mau cubit si kecil aja ga tega apalagi mau bunuh cuma karena depresi. Sayang banget.
Iya mba, semoga kt dihindarkan dari segala jenis depresi 🙁
Memang perlu banget hadirnya sang ayah di saat kehamilan, nih, terima kasih ilmunya bener banget.
bener banget mba, faktor utama kebahagiaan ibu ada pada pasangan yg supportif, IMHO
makasih sharingnya
Makasi sudah berkenan mampir mba Tira 🙂
Hi, Mbak Monik..
Masya Allah, besyukur rasanya waktu hamil dan melahirkan 5 tahun lalu, tanpa banyak ini itu, santai, aman terkendali, haha..
Btw, ini aku share boleh ya, Mbak Mon.. Kebeneran ada tetangga yang sering cerita masalah depresi ini nih.
Thank you Mbak Monik..
Alhamdulillah.. Rejeki dari Allah banget ya mba Ky..
Iya mba, bebas dibagikan.. Semoga bermanfaat
Sedih baca kasus ibu di atas :(. Dan aku bersyukur jadinya, punya support system yg sangat membantu saat aku kena baby blues syndrome dulu. Aku bisa terkena baby blues, mungkin Krn dari awal memang ga pengin punya anak. Aku ga suka anak kecil soalnya. Tapi akhirnya mau hamil Krn cinta ke suami aja dan akhirnya ngalah :D. Makanya pas melahirkan , jujurnya langsung udah ada penolakan utk Nerima si bayi. Makanya anak2ku ga ada yg asi, Krn dulu aku menolak megang mereka, nangis dan bener2 ga mau Deket. Tapi thank God suami bener2 sabar sih. Dan dia sigap lgs nemuin babysitter yg baik dan bertanggung jawab banget. Juga asisten utk bantuin aku. Jadi depresi yg aku rasain ga terlalu lama juga. Lama2 aku toh bisa Nerima si bayi akhirnya. Ga kebayang kalo support dari suami ga ada :(. Makanya aku percaya, utk suami istri yg berniat punya anak, bicarain dulu satu sama lain, pastikan kalo suami ga akan keberatan utk membantu, ntah itu nyediain babysitter, asisten ATO turun tangan juga utk bantu istri. Ga mudah di awal2 mengurus bayi itu, apalagi kalo ga ada yg bantuin. Rentan utk depresi