Orang bijak bilang hati-hati dengan ucapan. Dulu, saya pernah mengatakan, “Saya nggak mau menikah sama orang Minang,” lantaran terpengaruh dengan stigma kesukuan dan perkataan orang. Orang Minang itu pelit dan arogan, katanya. Namun, bagai menjilat ludah sendiri, pada akhirnya saya malah berjodoh dengan lelaki Minang.
Begitu pula dengan suami. Ia pernah mengatakan kalau dia tidak mau menikah dengan perempuan yang medok. Nggak enak didengar, katanya. Namun lagi-lagi, ucapan berbalik mengenai diri sendiri.
Ya, kami adalah dua orang yang kualat dengan perkataan.
Penerimaan Keluarga Adalah Hal yang Sangat Penting dalam Pernikahan
“Kok sama orang jauh?”
Pernikahan kami bukannya tanpa komentar. Mengapa tidak menikah dengan orang Jawa saja, mengapa menikah dengan orang pulau seberang. Maklum, nyaris semua keluarga saya dari pihak Papa tidak pernah merantau meninggalkan kota Semarang.
Suami tak kalah mendapatkan komentar untuk menikah dengan orang sesama suku. Di kampung, mertua mendapatkan beberapa tawaran untuk menjodohkan suami dengan anak orang kampung sana.
Semua tergantung anaknya saja
Beruntung, mama mertua demokratis dan menyerahkan urusan jodoh kepada anaknya.
Menikah dengan seseorang artinya ‘menikahi’ keluarganya juga. Sebagai orang yang menikah melalui ta’aruf, pertanyaan tentang keluarga adalah pertanyaan yang krusial. Kamu tidak bisa hanya sekadar mau dan peduli dengan pasangan, tetapi harus juga memedulikan keluarganya.
Seperti yang sudah pernah saya ceritakan dalam postingan 7 Pertanyaan yang Perlu Diajukan Ketika Ta’aruf, pertanyaan tentang keluarga merupakan salah satu pertanyaan utama sebelum memutuskan menikah dengan seseorang. Jangan sampai ketika sudah terlanjur menikah, ternyata keluarga pasangan tidak menyukai kita.
Ketika ta’aruf saya menanyakan kepada suami, “Apakah keluarga tidak keberatan apabila memiliki menantu orang Jawa?”. Penerimaan keluarganya adalah hal yang sangat krusial. Jika suami saat itu menjawab dengan ragu-ragu, proses ta’aruf tersebut lebih baik tidak berlanjut. Syukurlah, suami menjawab dengan tegas bahwa ia sudah memberitahu dan meminta izin kepada keluarganya.
Mengapa penting? Karena bagaimanapun juga, anak laki-laki bertanggung jawab kepada ibunya seumur hidup. Saya nggak ingin ketika menikah mengalami drama antar mertua dan menantu lalu suami berada di tengah-tengah, antara istri atau ibunya. No no.
Tantangan Pernikahan Beda Suku
Pernikahan beda suku itu memiliki berbagai tantangan. Sederhananya, perkara makanan. Sebagai orang Jawa (Semarang pula), selera lidah saya adalah makanan Jawa yang cenderung manis. Selain itu, saya tidak menyukai santan. Sementara layaknya orang Minang pada umumnya, suami menyukai makanan bersantan dan berbumbu tajam. Bahkan, indomie goreng pun tidak langsung dimasak, masih diberi bumbu lagi.
Pada akhirnya, kami saling berkompromi. Saya semakin terbiasa dengan masakan Minang sementara suami semakin terbiasa dengan masakan Jawa.
Masalah mudik menjadi tantangan lainnya. Mengingat lokasi rumah orang tua berseberangan pulau, tentu kami yang tinggal di Jakarta tidak bisa mudik ke dua tempat dalam satu waktu. Jadi, kami mudik ke rumah orang tua dua tahun sekali. Tahun pertama pernikahan kami lebaran di Solok, tahun kedua kami di Semarang, tahun ketiga kami ke Solok lagi, begitu seterusnya.
Hal menarik lainnya dari pernikahan antar suku adalah perbedaan standar norma kesopanan dan tradisi. Di Jawa, kami terbiasa sungkeman ketika lebaran. Di ranah Minang, tidak ada tradisi sungkeman jadi hal itu merupakan hal yang baru bagi suami.
Kami pernah tinggal enam bulan di rumah orang tua saya. Ada hal-hal yang membuat orang tua saya berkata, “Oh beda ya,” atas sikap suami dan kemudian saya pun menjelaskan kepada mereka bahwa memang ada perbedaan budaya dan kebiasaan. Bukan berarti suami bermaksud tidak sopan.
Berbagai tantangan tersebut membuat pernikahan kami semakin berwarna.
Entah mengapa ya, saya malah tidak terlalu ingin menikah dengan lelaki Jawa. Rasanya seru saja kalau menikah dengan laki-laki yang memiliki latar belakang berbeda. Jadi, saya menikmati berbagai perbedaan kami.
Malah kalau boleh saya bilang, saya lebih ‘Sumatera’ dibanding suami. Misalnya, kata teman-teman saya orangnya tegas, bahkan orang selalu mengira saya orang Sumatera : Batak, Palembang, atau Minang. Barulah kalau mendengar saya ngomong medok, orang tahu kalau saya berasal dari Jawa.
Tips Mengatasi Tantangan Pernikahan Beda Suku
Dengan berbagai tantangan yang mungkin dihadapi, saya ingin berbagi tips untuk menjalani pernikahan beda suku.
Pertama, kompromi
Sepertinya, kompromi adalah saran klasik dalam pernikahan. Namun, terkadang kompromi itu tidak semudah kelihatannya. Apalagi watak dan karakter kita sudah terbentuk selama berpuluh tahun. Misalnya masalah makanan, cita rasa saya tetap manis tetapi tentu tidak semanis ketika saya berada di Semarang. Suami pun memasak masakan Minang dengan santan yang tidak terlalu kental agar lidah saya bisa menerima.
Kedua, mau belajar memahami suku pasangan
Semakin belajar, semakin kita memahami. Ketika saya mudik ke rumah mertua di Solok, saya sebisa mungkin mempelajari bahasa Minang dan mempraktikkannya sedikit-sedikit. Selain itu, saya kerapkali meminta suami bercerita tentang karakter dan tradisi di sana. Apa yang sebaiknya dilakukan dan apa yang sebaiknya dihindari. Tentu tujuannya agar tak salah bersikap.
Untungnya, kami tinggal di Jakarta sehingga kami tidak terikat adat manapun. Saya dan suami juga menggunakan bahasa Indonesia untuk berkomunikasi dengan anak.
Ketiga, siapkan mental
Saya dan suami sama-sama merantau. Kami tahu rasanya bersosialisasi dengan banyak orang dari banyak suku di Indonesia. Namun, bagaimana dengan keluarga di kota kelahiran yang bisa jadi tak banyak bertemu orang dari suku yang berbeda? Wajar, jika mereka memiliki pandangan yang cenderung homogen. Wajar, bila ada keluarga pasangan yang kurang suka denganmu lantaran lebih suka jika pasanganmu menikah dengan sosok yang satu suku.
Karena itu, siapkan mental jika ada hal-hal yang barangkali akan membuatmu kurang nyaman lantaran perbedaan adat istiadat/budaya.
Namun, tentu tidak semua begitu ya. Mama mertua, contohnya. Beliau tidak pernah merantau tetapi sangat demokratis dan memberikan kebebasan memilih kepada anak-anaknya.
Keempat, jembatani pasangan dengan keluarga
Adalah sebuah keniscayaan bahwa kita menginginkan pasangan dan keluarga bisa saling akur dan memahami satu sama lain. Terkadang, dibutuhkan bantuan kita untuk menjadi jembatan antara pasangan dan keluarga. Misalnya, kita bisa menyampaikan tentang adat yang ada di keluarga pasangan atau ketidakpahaman pasangan akan adat kita, tanpa menyinggung salah satu pihak.
Kelima, komunikasi yang baik
Komunikasi yang baik adalah kunci dari segala hubungan. Apabila kita menikah dengan orang yang sama suku, mungkin kita tidak perlu banyak menjelaskan karena sudah tahu sama tahu mengenai adat dan budaya masing-masing. Kita juga bisa lebih mudah berkomunikasi dalam bahasa daerah yang bisa jadi memiliki makna lebih luas dari bahasa Indonesia.
Kadang, saya sering nggak sengaja mengucapkan istilah atau kata dalam bahasa Jawa. Ya, suami mana ngerti kan. Jadi, harus pandai-pandai mengkomunikasikan agar tak terjadi salah paham.
Misalnya, saya dan suami sepakat bahwa kami tidak mau berurusan dengan riba. Kami bertekad untuk bersabar kontrak rumah sampai bisa membeli uang secara tunai. Insya Allah.
Namun, tentu saja, perbedaan budaya dan adat dalam pernikahan beda suku tidak boleh disepelekan karena bisa menjadi potensi gesekan dengan pasangan maupun keluarga.
Jadi, apakah kamu berminat memiliki pasangan beda suku?
19 Comments. Leave new
Terima kasih untuk sharing pengalamannya,mba.. Tips-tipsnya dapat menjadi bahan oertimbangan juga nih untuk pasangan beda suku yg memutuskan akan menikah..
Makasi udah mampir, mba Tanti… Iya betul perlu dipertimbangkan berbagai tantangannya agar pas berumah tangga lebih smooth hehehe
Kadang yuni berpikir ingin menikah dengan orang yang memiliki latar belakang yang berbeda. Tapi, masalah perbedaan sepertinya agak rumit. Jadi pada kesempatan lain, kupikir menikah dengan yang satu suku saja lah.
Yuni masih belim kuat mental. Hehehe
Hehe iya mba Yuni.. Menantang gimana gitu… Tapi kalau cinta mengalahkan segala ye kan *eh
Aku lahir dari pasangan orangtua dengan suku berbeda. Ayah saya dari Sumatera Utara (Batak Mandailing), ibu saya dari Jawa Barat (Sukabumi).
Yang paling terasa sekali dari pernikahan beda suku adalah soal makanan. Ayah saya sangat suka masakan pedas dan ini turun ke kakak perempuan saya. Sementara Sunda itu jarang sekali masak masakan yang pedas banget, rerata yang gurih-gurih. Nah, ini yang saya suka.
Belum lagi adik saya juga punya kesukaan berbeda. Jadinya si mamah perlu pintar-pintar memasak agar semua anggota keluarga bisa makan.
Selanjutnya ada persoalan bahasa. Ayah saya terbiasa menggunakan bahasa Batak, dan ibu saya bahasa Sunda. Mereka saling mengerti. Tapi anak-anaknya terpaksa bahasa Indonesia karena nggak mengerti keduanya.
Ah, pokoknya seru.
Aih kebayang serunya tuh bang Raja… Alhamdulillah bikin kehidupan di keluarga makin berwarna ya :')
Sama dengan anak saya diajarin bahasa Indonesia aja hihi
Aku punya teman-teman yang suku sebrang memang memiliki karakter yang sangat berbeda. Kebayang ya, apalagi menikah tentu tantangannya banyak tapi akan semakin berwarna selama memiliki visi misi pernikahan yang sama ya mbak.
Betul banget kak Shafira… Yang paling penting visi misi pernikahannya sama… Yang lain2 bumbu dalam pernikahan. Hehehe
Setiap pernikahan memang ada komentar dari keluarga sendiri ya. Saya aja nikah sesama orang Jawa, tapi beda kabupaten katanya udah jauh banget. Apalagi yang sampai nyeberang pulau, hehehe.
Tapi, apapun itu, yang penting kita semua mau menerima dengan lapang dada, baik kekurangan maupun kelebihan dari pasangan.
Sepakat, sama-sama harus saling menerima kondisi masing-masing untuk meminimalkan pertengkaran :')
Wah kayak kakak saya nih yang beristrikan orang Minang. Tapi saya ga percaya stigma orang Minang sih karena kenyataannya kakak ipar saya itu orangnya baik banget dan gak pelit hehehe.
Iya betul mba Hida, tergantung orangnya. Alhamdulillah suami juga ga pelit hehe
Suamiku keturunan Jawa, mbak sementara aku suku Banjar. Memang ada beberapa perbedaan sih terutama dalam hal kebiasaan dan selera lidah. Kayak pas lebaran itu kalau di rumahku sungkemannya biasa aja kalau di keluarga suami sungkemannya lama. Heu
Hihi.. seru juga ya mba lebih berwarna dengan aneka budaya
Seru juga mba jadi bisa pulang kampunh jauh yah hehehe nyebrang pulau. Tapi setuju mba pada akhirnya beda suku tapi yang penting satu iman bener banget ini masalah Aqidah yass kalau suku dan lainnya bisa adptasi jika berbeda..
Iya betul banget teh yang penting satu iman :')
Biasanya orang tua memang lebih suka anaknya menikah dengan yang sesuku yaa. Tapi menurutku menikah dengan yang berbeda suku tetap asyik asalkan melakukan seperti yang Mba Monik tuliskan di atas
Hihi iya mba. Awalnya juga ortu pengen sama yang satu suku, alhamdulillah lama2 semakin terbuka
Alhamdulillah kami lagi proses ta’aruf, lagi – lagi judul diatas seperti cerita kami, saya laki – laki minang yang dipertemukan dengan wanita jawa, semoga ta’arufnya berlanjut ke pernikahan